Geser Ke Bawah untuk baca artikel
Hukum dan Kriminal

Tanggapi Banjir Dikawasan PT IMIP, Walhi Sulteng Ungkap Rentetan Kejahatan Lingkungan: Derita Tiada Henti

57
×

Tanggapi Banjir Dikawasan PT IMIP, Walhi Sulteng Ungkap Rentetan Kejahatan Lingkungan: Derita Tiada Henti

Sebarkan artikel ini

POTRET SULTENG-Kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah kembali dilanda banjir usai diguyur hujan lebat, Selasa, (25/4/2023) kemarin.

Banjir yang mencapai 50 sentimeter ini juga menerjang dua desa yakni Desa Bahomakmur dan Labota.

Menanggapi hal itu, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Aulia Hakim menyebut, peristiwa itu diakibatkan karena penghilangan hutan dari ekspansi wilayah konsesi tambang di hulu pertambangan.

“Yang kemudian menghadirkan pelbagai kerugian ekologis dan sosial serta ekonomi yang harus ditanggung oleh warga yang tinggal di desa sekitar tambang dan pekerja yang bermukim disekitaran lokasi industri,” ujarnya, Rabu (26/4/2023).

Aulia Hakim mengungkapkan, kawasan IMIP mulai beroperasi sejak 2014 dan melakukan konstruksi besar-besaran, terdapat dua pada modal besar yang menjalankan bisnisnya yakni Tsingsan Group dan PT Bintang Delapan Mineral (BDM).

Mega proyek industri tambang dan pemurnian nikel ini, memiliki luas kawasan kurang lebih 2000 ha yang mencakup produksi pabrik smelter dari total luasan keseluruhan mencapai 142.000 ha (potensi pertambangan di kawasan IMIP).

Akibat dari megaproyek pertambangan nikel dan hilirisasi ini, kata Aulia Hakim terdapat derita rakyat yang tiada henti.

Bahkan, dia menyebut Walhi Sulteng telah mencatat kejahatan lingkungan yang menyebabkan banjir di sepanjang 3 tahun terakhir.

Pada 7 Juni 2019, PT Bintang Delapan Mineral dengan aktifitas pertambangannya telah mengakibatkan Banjir Bandang yang menyebabkan dua orang harus meninggal dunia, ratusan rumah warga dan fasiltas umum rusak parah, wilayah terdampak pada peristiwa banjir ini terdapat di Desa Dampala, Le Le, dan Desa Siumbatu.

Berselang setahun, tepat 27 Juni 2020 banjir bandang kembali melanda kawasan IMIP dengan wilayah terdampak yang sama pada tahun 2019, akibatnya setidaknya 500 KK dan 350 jiwa harus mengungsi dari tempat tinggalnya, serta berbagai fasiltas umum dan pemerintah harus terendam lumpur akibat luapan dari wilayah tambang yang merembet ke pemukiman warga.

Tepat sebulan paska banjir di bulan Juni 2020, banjir kembali melanda wilayah Desa Bahodopi dan Bahomakmur pada 12 Oktober 2020, terdapat 200 rumah warga harus terendam banjir akibat luapan air yang tak terkendali dari sungai-sungai yang berdampingan wilayah konsesi tambang kawasan PT IMIP.

Pada 23 April 2022 banjir menerjang pemukiman warga, akibat tanggul kolam milik PT IMIP jebol, tepatnya pada kilometer 2 yang mengakibatkan ratusan rumah warga terendam dan dan sepede motor milik warga ikut hanyut terbawa arus kencang.

Kemudian pada 6 Juli 2022, banjir kembali menggenangi pemukiman warga didekat wilayah konsesi kawasan IMIP, tepatnya di Blok D desa Bahomakmur dan yang terbaru akibat aktifitas pertambangan IMIP yang kian massif, banjir kembali menerjang kawasan industri IMIP, Desa Bahomakmur dan kawasan rusun di Bahodopi, pada 25 April 2023.

Dari beberapa fakta diatas, dia mengatakan bahwa masifnya aktifitas ekstraksi nikel yang dilakukan di kawasan IMIP tentu sangat berpengaruh pada hilangnya keseimbangan ekologis.

“Walhi Sulteng mencatat bahwa per tahun 2021 terdapat 12 perusahaan yang mengantongi izini usaha pertambangan operasi produksi IUP-OP di Kabupaten Morowali, dengan total luasan konsesi kurang lebih 52.000 ha,” jelasnya.

Lanjutnya, belum lagi pada bulan lalu Pemerintah Kabupaten (Pemda) Morowali telah menyetujui pelepasan kawasan hutan dalam rangka pengembangan kawasan industri di PT IMIP, dalam rekomendasinya kawasan hutan yang diproses untuk pelepasan kawasan hutan seluas 2.156 ha.

Dia mengungkapkan bahwa eksploitasi pertambangan kian massif terjadi di Morowali yang mengakibatkan daya rusak tambang secara besar-besaran adalah bentuk hasil dari kebijakan negara yang hanya berpihak terhadap modal dan kepentingan elit semata.

“Mereka tak akan mersakan bagaimana warga menderita secara terus menerus dan menanggung kerugian yang besar dari dampak yang dihadirkan oleh pertambangan itu. Juga mereka tidak merasakan bagaimana jeritan pekerja kala mereka harus dieksploitasi dengan upah rendah ditambah harus merasakan dampak lingkungan yang terjadi hasil dari kebijakan yang mereka keluarkan,” tegasnya.

Walhi Sulteng menilai, bencana ekologis yang terjadi di Morowali adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

“Bisa terlihat dari respon pemerintah disetiap kejadian bencana ekologis seperti ini tidak ada yang berani untuk melakukan tindak tegas terhadap perusahaan, mereka menghindar dari realitas yang terjadi,” ungkapnya.

Dalam siatuasi ini, Aulia Hakim menegaskan pemerintah harus segera mengambil tindakan atas apa yang telah terjadi dan PT IMIP harus mengakui kejahatan lingkungan yang telah lakukan selama ini.

“Pemerintah harus berani menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan dengan tidak hanya menyerukan perbaikan lingkungan saja, tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan juga harus perusahaan tanggung, dan juga pemerintah harus berani menjatuhi hukuman atau sanksi secara peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan