Geser Ke Bawah untuk baca artikel
Hukum dan Kriminal

Kritik Bank Tanah Di Poso, 13 Organisasi Masyarakat Sipil Sulteng Desak Pemerintah Hentikan Praktik Buruk

45
×

Kritik Bank Tanah Di Poso, 13 Organisasi Masyarakat Sipil Sulteng Desak Pemerintah Hentikan Praktik Buruk

Sebarkan artikel ini

Diskusi dan konsolidasi terkait “Kritik Bank Tanah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,” di Palu, (31/5/2023).

POTRET SULTENG-Sebanyak 13 organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah mendesak dan meminta pemerintah menghentikan praktik buruknya di sektor agraria.

Yakni Walhi Sulteng, KPA Sulteng, AMAN Sulteng, Solidaritas Perempuan Palu, Solidaritas Perempuan Poso, Yayasan Merah Putih, Perkumpulan Evergreen Indonesia, SLPP Sulteng, JATAM Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Serikat Nelayan Teluk Palu, Serikat Tani Sigi, BRWA Sulteng, KOMIU, Perkumpulan Bantaya.

Desakan dan kritik ini dilayangkan setelah hadirnya plang-plang yang bertuliskan BANK TANAH di wilayah Kabupaten Poso.

Hal ini disampaikan dalam diskusi dan konsolidasi terkait “Kritik Bank Tanah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,” di Palu, (31/5/2023).

Sebelumnya didalam rilis resmi website BANK TANAH disebutkan profil asset BANK TANAH yang diklaim di kabupaten Poso meliputi lima desa diantaranya, desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalimongo dan desa Watutau yang mencakup wilayah administrasi kecamatan Lore Timur dan Lore Piore.

BANK TANAH juga mencakup wilayah eks Hak Guna Usaha seluas 7.740 ha, secara rinci BANK tanah mengkliam lahan seluas 4.079 ha sebagai tanah terlantar, juga mencaplok tanah masyarakat yang memilik alas hak seluas 224, 29 ha, serta tanah pemerintah seluas 12, 26 ha.

Desakan Forum Masyarakat Lamba Bersatu Desa Watuawu terhadap pihak Badan Bank Tanah untuk melakukan sosialisasi terbuka kepada masyarakat setempat.

Kordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng, Doni Moidady mengatakan, Badan Bank Tanah yang berada di Kabupaten Poso abai melihat relasi sosial-budaya yang telah lama hidup di dataran tinggi Lore.

“Klaim penguasaan orang Lore yang menggunakan tanah adat di lahan eks HGU (Hak Guna Usaha) PT SIL belum diselesaikan oleh pemerintah, Bank Tanah malah hadir mencaplok lahan-lahan petani-penggarap yang telah mereka garap, ini justru menimbulkan konflik struktural baru yang menyulitkan orang Lore menguasai lahannya,” ujarnya.

Bersamaan dengan itu, kata Donny bahwa Pemda Poso justru memilih tidak mengintervensi HGU yg telah habis masa berlakunya untuk tidak diperpanjang, sehingga lahan tersebut dikuasai bank tanah.

Sejak lama Kementrian ATR/BPN telah merancang dan gencar mempromosikan pembentukan BANK TANAH ini, sejak dalam perumusan RUU Pertanahan (2018-2019), sampai pada saat RUU Pertanahan masuk prioritas Polegnas 2019. Namun dalam perjalannya rancangan RUU Pertanahan itu banyak menuai kritik meluas, sehingga pada akhirnya RUU Pertanahan gagal disahkan karena kerasnya penolakan dan aksi-aksi protes yang meluas hingga ke kampung-kampung.

Potret penguasaan lahan Badan Bank Tanah.

Sementara, Pengajar Antropologi Fisip UNTAD Marzuki menyatakan, Bank Tanah secara praktikal di berbagai negara sangat baik sehingga sangat dibutuhkan.

“Namun dalam konteks praktek Bank Tanah yang terjadi saat ini dalam konteks praktek di Kabupaten Poso masih terjadi benturan antara masyarakat degan Bank Tanah karena adanya penetapan sepihak yang dilakukan oleh Bank Tanah terhadap areal yg dalam pengetahuan dan pandangan budaya masyarakat setempat sebagai hak komunitas adat,” ungkapnya.

Bertolak dari fenomena tersebut maka, kata Marzuki perlu ada peninjuan dan perbaikan terhadap instrumen dan praktik-praktik pelaksanaan aktifitas Bank Tanah.

Lebih jauh lagi BANK TANAH ini kemudian disahkan melalui peraturan pelaksana dari Undang-undang Cipta Kerja, yang bnyak menuai protes sepanjang penyusunannya, dan dinilai cacat konstitusional.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang badan BANK TANAH. Sekalipun telah terbit putusan MK No.91/PUUXVII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 yang disebutkan dalam amar putusannya menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020. Hal ini kemudian dilihat menjadi satu parktik perampasan ruang rakyat.

Selain itu, Kepala Departmen Organisasi WALHI Sulteng Bonar Ardian menyampaikan, Negara seharusnya lebih meprioritaskan lahan-lahan itu untuk diperuntukan ke rakyat, bukan malah memfasilitasi korporasi, wilayah kelola rakyat harusnya menjadi prioritas pemerintah ditengah ketimpangan dan konflik yang makin massif terjadi.

Pada 13 Februari 2023 lalu, PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, 11 organisasi masyrakat sipil di Jakarta melayangkan gugatan di Kantor Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dikatakannya, gugatan ini mencakup permohonan uji formil dan uji materil PP 64/2021 yang dinilai bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah, UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91), yang menyatakan bahwa UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.

Tinggalkan Balasan