Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) bakal merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Rencana revisi UU Minerba yang keempat kalinya ini dilakukan secara mendadak melalui rapat pleno yang digelar secara tiba-tiba pada Senin, 20 Januari 2025.
Berbagai media massa menyebutkan Baleg DPR akan mengebut proses revisi dan mengambil keputusan pada pukul 19.00 malam ini juga. Proses revisi ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara serampangan. Selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
Setelah dicermati, setidaknya terdapat sejumlah poin krusial dalam naskah revisi UU Minerba, antara lain:
- Prioritas pemberian IUP dengan luas kurang dari 2.500 hektar ke UMKM
- Memberikan dasar hukum pemberian WIUP kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan
- Memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi
- Memprioritaskan pemberian WIUP dalam rangka hilirisasi
- Pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh menteri tanpa disebutkan secara jelas kementerian yang berwenang
Modus Gerombolan Sirkus Parlemen dan Istana untuk Membancak
Revisi Minerba yang keempat kalinya ini tak dapat dibaca secara parsial hanya sebagai langkah untuk mengeksekusi dua putusan Mahkamah Konstitusi semata. Tindakan gerombolan politikus di parlemen tersebut harus dimaknai sebagai upaya membancak kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis, dan seolah-olah legal.
Pembancakan kekayaan alam itu tak terlepas dari latar belakang dan kepentingan elit politik istana dan parlemen yang mayoritas di antaranya datang dari latar belakang pebisnis. Berdasarkan penelusuran ICW, komposisi anggota parlemen, misalnya, terdapat sekitar 61 persen atau 354 individu dari total 580 anggota DPR periode 2024–2029 memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis.
Demikian juga dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan keluarganya yang juga memiliki kepentingan langsung dengan bisnis pertambangan. Prabowo merupakan pengendali utama sejumlah perusahaan batu bara yang memiliki konsesi di Kalimantan Timur, di antaranya PT Nusantara Energy, PT Nusantara Kaltim Coal, dan PT Erabara Persada Nusantara. Sedangkan adik kandungnya, Hashim Djojohadikusumo merupakan pengendali utama Arsari Group yang memiliki lebih dari dua konsesi tambang timah di Bangka Belitung dan baru saja membeli saham PT Tambang Mas Sangihe (Baru Gold), yang menambang emas di pulau kecil Sangihe.
Selain itu, Kabinet Merah Putih besutan Prabowo juga disesaki para pebisnis di sektor industri ekstraktif. Berdasarkan catatan JATAM, setidaknya 34 dari 48 menteri dalam Kabinet Merah Putih terafiliasi dengan bisnis, dan 15 di antaranya terkait dengan bisnis ekstraktif. Termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara.
Persoalan lainnya, para pencoleng tersebut terkesan mendompleng pasal 33 UUD 1945 demi memoles citra semata saat memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dalam naskah revisi, salah satu basis argumen yang digunakan adalah mineral dan batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kedua entitas tersebut akan menyusul ormas keagamaan yang sudah diberi karpet merah oleh bekas presiden Jokowi untuk mendapatkan jatah konsesi tambang melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam naskah revisi, prioritas pemberian WIUP kepada kampus dan usaha kecil dan menengah tersebut termaktub dalam Pasal 51.
Pemberian konsesi kepada kampus dan UMKM tersebut sekaligus menunjukkan watak gerombolan pebisnis di parlemen dan istana yang tampak memanfaatkan nama besar perguruan tinggi sebagai alat legitimasi belaka. Ini merupakan satu bentuk pelecehan terhadap institusi perguruan tinggi yang seharusnya berpihak kepada masyarakat korban di lingkar tambang, bukan sebagai alat untuk merampok negara dan mengakumulasi daya rusak akibat usaha pertambangan.
Upaya melibatkan perguruan tinggi dalam urusan pertambangan ini juga dapat dipandang sebagai cara pemerintah ‘cuci tangan’ atas kesejahteraan para akademikus. Ketidakbecusan negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan para akademikus hendak diselesaikan dengan cara culas: membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian utama adalah usulan Pasal 141 B yang mengatur sebagian penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dikelola oleh menteri, namun tanpa menyebutkan secara jelas kementerian mana yang akan mengelola. Apabila pengelolaan PNBP jatuh kepada Kementerian ESDM, semakin terlihat jelas revisi UU Minerba ini hanya untuk bagi-bagi ‘gula’ dari usaha pertambangan. Ini serupa malapetaka baru mengingat sudah ada dua dirjen dari kementerian tersebut yang terbukti melakukan korupsi.
Alih-alih mengutamakan keselamatan rakyat dengan menghentikan operasi pertambangan yang merusak beserta hilirisasinya, revisi UU Minerba ini justru menunjukkan watak sesungguhnya dari para pengurus negara dan gerombolan pebisnis di parlemen, yang tamak dan culas.
JATAM berpandangan apa yang disuguhkan kepada publik dari revisi UU Minerba keempat tersebut adalah praktik sempurna dari kejahatan korupsi sistemik yang melibatkan korporat atau kepentingan swasta secara langsung dalam pengelolaan kebijakan negara.
Untuk itu, JATAM mengecam keras revisi UU Minerba tersebut, sekaligus menuntut pemerintah dan DPR RI agar hentikan seluruh proses revisi tersebut.