Hilirisasi mineral khususnya hilirisasi tambang nikel yang seminggu lalu menjadi materi debat cawapres, ternyata hingga saat ini masih menjadi perbincangan. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan ikut mengomentari dan menampik bahwa hilirisasi yang dijalankan oleh Presiden Jokowi sudah benar.
Menanggapi hal tersebut, Koalisi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Utara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) menantang Luhut, Bahlil dan Gibran untuk berdialog secara terbuka dan menunjukan fakta serta data terkait manfaat maupun dampak negatif hilirisasi nikel, khususnya di Pulau Sulawesi.
“Mengamati perbincangan seputar hilirisasi tambang nikel di media, kami perlu merespon para menteri yang kerap mengatakan bahwa hilirisasi nikel di Indonesia itu baik. Kami pun mengajak Menteri Luhut, Bahlil, bahkan Cawapres 02, Gibran untuk berdebat secara terbuka soal manfaat industri nikel di Sulawesi,” terang Direktur WALHI Sulteng, Sunardi, Senin (29/01/24).
“Tunjukan data-data terkait dampak positif hilirisasi nikel, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan Sulawesi,” sambungnya.
Selain itu, Sunardi menjelaskan bahwa selama 3 tahun terakhir dampak hilirisasi nikel di Sulteng sangat buruk terutama bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal, baik itu di area pertambangan maupun di sekitar pabrik. Kondisi ini juga harus dilihat dan dihitung sebagai dampak hilirisasi mineral nikel di Indonesia.
Baca Juga: Ledakan Tungku Smelter, Walhi Sulteng Desak Pemerintah Hentikan Aktivitas Pertambangan di PT IMIP
“Kami perlu jabarkan satu-satu dampak negatif hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah kepada Gibran khususnya. Mulai dari masalah pencemaran air, udara, kehancuran hutan, hingga gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan pendapatan masyarakat lokal, seperti petani dan nelayan,” jelas Sunardi.
Kondisi pekerja tambang dan industri nikel, kata dia, juga sangat memprihatinkan. Ribuan tenaga kerja lokal harus bekerja dengan standar keselamatan kerja yang rendah, upah yang tidak sesuai dengan resiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi dan sistem kerja kontrak yang membuat para pekerja harus bekerja non-stop agar mendapat penghasilan yang tinggi.
“Tingginya angka kecelakaan kerja menjadi bukti bahwa kondisi buruh pabrik nikel sangat memprihatinkan. Juga termasuk banyak buruh-buruh smelter nikel di Morowali harus berhenti kerja karena tidak tahan dengan resiko yang tinggi sementara upah mereka sangat rendah. Hal itu yang perlu kami perdebatkan dengan Luhut dan Gibran,” ucapnya.
Lain halnya di Sulsel, menurut Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Al Amin, beberapa dampak masifnya hilirisasi nikel adalah pencemaran lingkungan dan ancaman penggusuran kebun-kebun petani.
Saat ini, hasil pemantauan WALHI Sulsel, sungai-sungai di sekitar pabrik dan tambang nikel di Sulsel telah tercemar logam berat. Ini berbahaya karena air sungai yang tercemar tersebut bermuara hingga ke danau dan laut.
Kemudian, hutan hujan di Sulsel terancam hilang karena pertambangan nikel. Bahkan kebun-kebun petani dan perempuan di Sulsel terancam tergusur akibat ekspansi tambang nikel yang sangat massif satu tahun terkahir.
Baca Juga: Walhi-YPAL Minta Bupati Touna Tetapkan Status Tanggap Darurat
“Oleh karena itu, kami ingin sekali mengajak cawapres 02, Gibran untuk berdebat secara terbuka mengenai bahaya hilirisasi nikel. Agar dirinya tidak asal mengatakan bahwa hilirisasi itu sangat menguntungkan, bahkan menghina orang-orang yang menentang proyek hilirisasi nikel,” jelas Al Amin.
Begitu pun dengan kondisi hilirisasi pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara. Menurut Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, dampak hilirisasi nikel di Sultra juga tidak kalah ekstrim dengan Sulteng dan Sulsel. Dampak negatif hilirisasi nikel adalah kriminalisasi warga, kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan.
Rahman menambahkan bahwa hilirisasi nikel yang massif telah mengakibatkan deforestasi, pencemaran udara dan air. Penggunaan PLTU Captive pada smelter nikel di Sultra mengakibatkan penderita penyakit ispa meningkat. Selain itu pencemaran laut akibat sedimentasi juga makin meluas, yang berdampak bagi penurunan hasil tangkapan nelayan.
“Yang tidak kalah penting adalah saat ini terdapat tiga puluhan perempuan di Kabupaten Konawe Selatan yang terancam dikriminalisasi oleh perusahaan dan kepolisian karena menolak pertambangan nikel. Semua itu adalah bukti bahwa hilirisasi adalah proyek yang sangat mengerikan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat,” tegas Rahman.