Geser Ke Bawah untuk baca artikel
Hukum dan Kriminal

Walhi Sulteng Klaim Alih Fungsi Lahan Jadi Faktor Utama Banjir Di Kota Palu, Sarankan Perbaikan Tata Ruang

52
×

Walhi Sulteng Klaim Alih Fungsi Lahan Jadi Faktor Utama Banjir Di Kota Palu, Sarankan Perbaikan Tata Ruang

Sebarkan artikel ini
Kepala Advokasi Dan Kampanye Walhi Sulteng, Aulia Hakim.

POTRET SULTENG-Sejumlah kawasan di Kota Palu Sulawesi Tengah tergenang banjir akibat hujan deras yang terjadi pada Jum’at (21/7/2023) malam.

Hujan dilaporkan mengguyur sebagian ruas Jalan Kota Palu, seperti Jalan Yos Sudarso dan Jalan Basuki Rahmat. Tidak hanya itu, beberapa fasilitas umum juga ikut terendam banjir.

Ketinggian banjir hampir setara betis orang dewasa ini diduga akibat sistem pembuangan massa air (drainase) yang tidak mampu menampung debit air.

“Peristiwa banjir di Kota Palu bukan kali ini saja terjadi. Namun banjir yang terjadi beberapa waktu terakhir ini semakin tidak menentu, tidak melulu dengan intensitas curah hujan dengan waktu yang lama, ataupun intensitas curah hujan yang tinggi,” ujar Kepala Advokasi Dan Kampanye Walhi Sulteng, Aulia Hakim.

Aulia Hakim mengklaim dampak dari maraknya alih fungsi lahan menjadi faktor utama banjir di Kota Palu. Seperti pembangunan skala besar di kawasan resapan air.

“Masalah utama banjir Kota Palu adalah persoalan perampasan ruang dan kekacauan ruang yang mengakomodasi pembangunan skala besar di wilayah resapan air, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan daya tampung dengan debit air, yang kemudian mengakibatkan luapan kesejumlah titik jalan dan rumah-rumah warga di Kota Palu, belum lagi misal jika terjadi kiriman banjir dari wilayah hulu sungai Palu,” jelasnya.

Aulia Hakim menuturkan pihaknya seringkali mengingatkan Pemerintah Kota dan Provinsi perihal pemicu bencana ekologis terjadi. Menurut dia, banjir yang kerapkali menimpa Kota Palu diakibatkan hasil pengrusakan ekologis.

“Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah seringkali mengingatkan pihak Pemerintah Kota maupun Provinsi sebelumnya, dengan intensnya berbagai kerusakan ekologis yang terjadi di Kota Palu dan wilayah-wilayah penyangganya, tentu tidak terlepas dari pengrusakan diwilayah penyangga yang memicu bencana ekologis itu terjadi,” bebernya.

Oleh sebab itu, Aulia Hakim menyarankan agar Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kota Palu melakukan perubahan total terkait kebijakan tata ruang yang telah disusun sebelumnya. Mengingat persoalan ketidakseimbangan ruang muncul karena lemahnya political will (kemauan politik ) terhadap lingkungan.

“Lemahnya politcalwil terhadap lingkungan, yang mengakibatkan ketidakseimbangan ruang, sehingga perlu adanya perubahan total terhadap kebijakan ruang yang telah disusun sebelumnya oleh pemerintah Sulteng dan Kota Palu. Ambisi pembangunan tidak berjalan dengan ekologi sudah pasti memberikan dampak buruk yang akan merugikan rakyat,” tegas dia.

Ditengah proses perbaikan infrastruktur pasca bencana, Aulia Hakim meminta Pemerintah Kota Palu harus betul-betul melakukan upaya perbaikan tata ruang. Apalagi, ada 17 Kelurahan Kota Palu masuk dalam wilayah zona merah rawan bencana.

“Kota Palu yang tengah dalam proses perbaikan infrastruktur paska bencana, seharusnya hadir lebih ke kesiapan serta perbaikan tata ruang, guna berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya. Apalagi Kota Palu, di mana 17 Kelurahannya masuk dalam zona merah kawasan rawan bencana, yang meliputi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan banjir,” bebernya.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan paradigma pembangunan yang cenderung berpihak untuk kepentingan investasi merupakan kesalahan fatal dilakukan oleh pemerintah. Pada akhirnya negara mengalami kerugian. Hal tersebut terbukti pada 2019 silam, sebagaimana hasil audit Kementrian Agraria dan Tata Ruang, pada tahun 2019, negara dirugikan sebesar Rp.619.937 miliar triliun dari kesalahan pemanfaatan ruang.

“Atas hal tersebut Walhi Sulteng mendesak Pemerintah Daerah maupun Pusat untuk segera berbenah dari kekacauan ruang yang ada di Kota Palu maupun Sulawesi Tengah secara luas, serta menjadikan bencana ekologis secara serius dengan melakukan perubahan dan penataan ruang kembali dengan prespektif ekologi tanpa ditunggangi kepentingan modal, yang kemudian bisa memastikan jaminan keselamatan warga,” tegasnya.

Pendekatan mitigasi bencana dan solusi teknis siap siaga bencana tidak akan cukup menyelesaikan persoalan, namun pemberhentian aktivitas ekstraktif yang dibarengi dengan perlindungan kawasan penyangga, pemulihan lingkungan yang rusak, merupakan satu jalan menuju perbaikan ruang dan menjamin keselamatan warga.

Tinggalkan Balasan