Geser Ke Bawah untuk baca artikel
Hukum dan Kriminal

PWI Morowali Tolak RUU Penyiaran, Dinilai Berpotensi Bungkam Kebebasan Pers

150
×

PWI Morowali Tolak RUU Penyiaran, Dinilai Berpotensi Bungkam Kebebasan Pers

Sebarkan artikel ini
Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesai( PWI) Kabupaten Morowali Supriyono.

POTRET SULTENG-Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesai( PWI) Kabupaten Morowali Supriyono menyebutkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran berpotensi membungkam kebebasan pers.

Dia mengatakan PWI Morowali juga menolak terkait RUU penyiaran serta tidak menyetujui peraturan tersebut.

Ketua PWI Morowali itu menjelaskan terdapat pelbagai pasal yang dinilai menjadi kontoversi.

Pertama, pasal 50B Ayat (2) huruf k. Bahwa Pasal 50B Ayat (2) tersebut memiliki banyak tafsir, terlebih adanya pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.

“Pasal yang ambigu ini berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis,” ujarnya, Kamis, (23/5/2024).

Kemudian, kata dia, Pasal 56 Ayat (2) butir c: Pasal ini mengatur pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.

Selanjutnya, Pasal 25 Ayat (1) butir q: Pasal ini mengatur ihwal sengketa jurnalistik. Menurutnya, Pasal ini bermasalah karena ada potensi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewan Pers.

Lanjutnya, kemudian pada Pasal 8A huruf (q)

Dalam Pasal 8A huruf (q) draf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Pasal 42 ayat 2

Serupa Pasal 8A huruf q, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)

Pasal tersebut spesifik mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Padahal, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Pasal 50B ayat 2 huruf (k)

Pasal tersebut dinilai “karet” sebab terdapat larangan membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Padahal, Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024 lalu.ujar Supriyono.

Ditambahkan Supriyono Pasal 51 huruf E

Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.

Penghapusan pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran no 32/2002.

Pasal tersebut dapat melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja

Dalam Pasal 50B Ayat (1) dan 2 disebutkan, adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“Dengan demikian para jurnalis Kabupaten Morowali menolak keras atas RUU (Revisi undang undang) tersebut yang terkesan membungkam demokrasi,” bebernya.***

Tinggalkan Balasan