Oleh: Taslim
Penegakan hukum di Indonesia selalu saja menjadi problem karena banyaknya praktek peradilan yang jauh dari kata adil.
Padahal jelas bahwa tujuan hukum haruslah memberi kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Walaupun adanya kritik bahwa ketiganya tidak dapat diterapkan dalam memutus suatu perkara. Akan tetapi keraguan itu hadir dikuatkan salah satu asas “summum ius summa iniuria” atau dalam bahasa Inggris “Rigorous law is often rigorous injustice” yang artinya bahwa hukum yang ketat seringkali merupakan ketidakadilan yang ketat.
Asas tersebut bisa saja hadir karena adanya fakta proses penegakan hukum yang tidak adil, sehingga menghadirkan keraguan bahwa hukum dapat memberikan keadilan kepada semu orang.
Hal ini bisa juga sejalan dengan penyampaian Prof Satjipto Raharjo Hukum yang berlaku di Indonesia masuk pada fase hukum modern. Bersifat netral namun sayangnya kenetralan hukum tak bisa menjamin yang menang adalah yang benar dan yang salah adalah yang kalah.
Apapun teori dan pertentangannya soal penegakan hukum sebagai Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Palu, menaati hukum harus tetap di tegakan sekalipun dunia akan runtuh. Prinsip inilah yang menghantarkan sikap kecaman penulis terhadap kasus tindak pidana suap vonis bebas Gregorius Ronald Tanur.
Kasus yang melibatkan 3 hakim dan 1 pengacara dan juga mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), yang diduga berperan sebagai perantara atau “makelar” dalam kasus vonis bebas Ronald Tannur. Setelah melakukan penggeladahan di temukan Rp 1 triliun dan emas yang beratnya hampir 51 kilogram di rumah zarof ricard.
Penemuan uang dan emas sebanyak itu sontak membuat kita semua berspekulasi itu adalah hasil dari mafia penyelesaian kasus di MA.
Perbuatan tersebut sangat mencederai lembaga peradilan. yang mana tempat itu sebagai jalan setiap orang mencari keadilan dan hak setiap warga negara.
Negara Hukum selalu menekankan penyelesaian masalah harus di sandarkan pada aturan maka lembaga peradilanlah tempatnya.
Hukum sebagai panglima di tangan para bedebah menjadi pemukul dan penindas bagi masyarakat yang tidak mampu. Sehingga hukum akan berpihak kepada siapa yang memiliki akses kepada penegak hukum bukan pada tujuan hukum kepastian, kemanfaatan dan keadilan, juga sangat jauh dari asas “equality before the law”.
Dalam memperbaiki penegakan hukum di Indonesia masih sangat relevan menggunakan pendekatan teori Laurence Friedman bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu: struktur (legal structur), Substansi (legal substancy), budaya (legal culture).
Struktur (legal structur), berkaitan dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (legislatif), yang melaksanakan aturan (eksekutif) dan penegak hukum (yudikatif).
Maka tidak asing lagi apa yang disebut dengan peradilan sesat, yaitu kegagalan suatu proses mencari keadilan dalam seluruh aspeknya. Cikal bakal kegagalan peradilan ini disebabkan juga oleh perilaku aparat penegak hukum yang tidak menjunjung keadilan dan menegakan hukum.
Sementara negara hukum bisa kuat sangat bergantung pada prilaku penegak hukum, seperti pembentukan sistem pemerintahan yunani kuno telah mencontohkan bahwa tidak cukup hanya aturan yang baik juga di butuhkan pemimpin yang baik dan memiliki kemampuan.
legal substancy adalah produk peraturan yang dikeluarkan oleh legal structur seperti UU. Rumusan suatu peraturan haruslah menjawab kondisi sosial masyarakat dan dapat mencegah perbuatan buruk dari para penegak hukum. Karena hakim yang baik juga harus berjalan di atas peraturan yang baik.
Legal culture atau budaya kepatuhan hukum bagi masyarakat Indonesia. hukum dibentuk salah satunya menginginkan agar rakyat hidup teratur.
Budaya hukum tersebut, oleh Friedman dibedakan menjadi dua. Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan masyarakat luas secara umum.
Ada budaya hukum internal, yaitu budaya yang dikembangkan oleh para aparat penegak hukum. Kedua jenis budaya hukum ini saling mempengaruhi.
Penegak hukum haruslah menjadi contoh dalam menaanti hukum agar masyarakat umum mengikutinya bukan sebaliknya. Olehnya, ketiga sistem hukum yang ditawarkan oleh Laurence Friedman merupakan solusi dalam perbaikan sistem hukum di Indonesia.