POTRET SULTENG-Aliansi Gerakan Reforma Agraria Sulawesi Tengah (Agra Sulteng) mengecam tindakan kriminalisasi dan penangkapan terhadap tiga orang petani asal Desa Sidondo I Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi.
Tindakan tersebut dilakukan Tim Operasi Pengamanan Hutan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi bersama dengan Tim Patroli Pengamanan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Diketahui ketiga petani yakni Farid, Arwin dan Emon ditangkap pada tanggal 11 Desember 2023.
Pimpinan Wilayah Agra Sulteng Iqbal menilai tindakan penangkapan itu improsedural, sebab surat penangkapan baru dilayangkan pada tanggal 13 Desember 2023 yaitu dua hari setelah ketiga orang petani tersebut di tahan.
“Bahkan hal itu tanpa kabar sama sekali kepada pihak keluarga, dan proses penyidikan dilakukan tanpa memberikan hak bagi tiga orang tersebut untuk meminta dan mendapatkan pendampingan hukum,” ujar Iqbal, Minggu, (17/12/2023).
Dia juga menyebut tindakan kekerasan dan kriminalisasi di wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) ini bukan kali pertama. Sebelumnya, pada tahun 2013 telah terjadi penangkapan terhadap satu orang petani di Kabupaten Poso dengan tuduhan melakukan pembalakan liar.
Selanjutnya, pada tahun 2014 13 orang petani dongi-dongi dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penebangan liar dan pada tahun 2016 14 orang petani dongi-dongi ditembaki saat sedang melakukan persiapan aksi demonstrasi menuntut tapal batas TNLL.
“Tindakan kriminalisasi kali ini menjadi pelengkap dari catatan buruk tindakan pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh Berita Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) terhadap rakyat lingkar Kawasan TNLL,” tegasnya.
Iqbal menilai bahwa muara dari serangkaian tindakan kekerasan dan kriminalisasi di wilayah TNLL ini adalah klaim BBTNLL terhadap tanah dan wilayah rakyat lingkar kawasan tersebut.
Bahkan kata dia, kawasan itu telah lama dipermasalahkan rakyat lingkar TNLL, sebab jauh sebelum kehadiran BBTNLL kawasan tersebut bukanlah tanah kosong melainkan tanah yang telah digarap dan dimanfaatkan oleh rakyat sekitar dan pemanfaatan tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Dia mengaskan kehadiran BBTNLL dengan pengusaan tanah yang sangat luas yaitu mencapai 215.733,70 Ha belum ditambah dengan berbagai izin perkebunan yang juga berada di sekitar lingkar kawasan TNLL.
“Tentunya telah mempersempit lahan garapan rakyat dan setahap demi setahap mengisolasi rakyat dari wilayah kelolanya,” jelasnya.
“Penyematan istilah “peladang liar, perambah hutan, penambang illegal” adalah fitnah berujung tindakan terror, intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh BBTNLL terhadap rakyat yang terus berjuang mempertahankan lahan garapan dan wilayah kelolanya,” tambahnya.
Melaluai penyematan istilah-istilah tersebut, kata dia, BBTNLL telah mendudukan rakyat sebagai pelaku kriminal dan perusak lingkungan.
Iqbal mengatakan peristiwa penangkapan ini juga semakin membuktikan ketidakseriusan negara dalam menjalankan program Reforma Agraria.
“Semakin membuktikan bahwa Reforma Agraria yang diprogramkan Jokowi adalah Reforma Agraria Palsu. Sebab semakin mempertegas monopoli atas tanah di tangan para tuan tanah di satu sisi dan semakin mengesampingkan hak rakyat atas tanah di sisi yang lain,” bebernya.
Atas situasi ini, Aliansi Gerakan Reforma Agraria Sulawesi Tengah menuntut :
- Bebaskan Farid, Arwin dan Emon dan hentikan semua proses hukum terhadapnya, karena mereka tidak melakukan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana yang dituduhkan
- Berikan hak rakyat Sidondo I dan seluruh rakyat lingkar Taman NLL untuk berladang dan memanfaatkan hasil hutan serta seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya secara adil dan bertanggung jawab
- Hentikan tindakan teror, intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat SIdondo I dan seluruh rakyat lingkar TNLL.
- Cabut SK Penetapan BBTNLL karena merampas tanah dan wilayah rakyat
- Laksanakan Reforma Agraria sejati sebagai solusi tenurial sejati bagi rakyat.